Tuesday 4 October 2011

Menuju Gunung Argopuro [3]


Minggu, 4 september 2011
Tak terasa sang pagi telah datang, kami semua telah terjaga, aku menjadi orang yang terakhir bangun. Kami menikmati suasana pagi di Taman Hidup yang damai ini, dengan kebersamaan dan persahabatan. Ikhwan dan Omi rupanya sudah menikmati keindahan pagi Taman Hidup terlebih dahulu, itu terlihat dari hasil foto-foto mereka yang kulihat dari kamera yang kami bawa.
 
Wow…disalah satu foto terlihat, area Danau Taman Hidup berES. Rupanya benar yang dikatakan oleh seorang pendaki kemarin. Gak mau kalah dengan Ikhwan dan Omi yang sudah menikmati keindahannya, kini saatnya aku yang menikmati keindahannya, sembari membawa botol-botol untuk mengisi air.

Setelah memasuki area Danau, di dermaga itu terlihat banyak kesibukan aktifitas memancing, aku segera menuju Dermaga itu. Bergabung dengan mereka, berbincang-bincang sedikit sambil mengisi 1 demi satu botol-botol air yang kubawa. Melihat aktifitas mereka, hasratku untuk ikutan memancing makin tak tertahan. 

Hmm…namun aku harus mengubur hasrat itu dalam-dalam, karena tujuanku kesini bukanlah untuk memancing. Lagi pula aku tidak membawa alat pancing, dan aku enggan untuk meminjam kepada mereka. Botol-botol air telah terisi, saatnya aku kembali ke camp. Namun  sebelum kembali, aku meluangkan waktu untuk menikmati keindahan Taman Hidup, dari atas rumput-rumputnya.
 
Puas sudah menikmati pemandangan dan keindahan, saatnya aku kembali ke camp. Sesampai di camp kesibukanpun mulai terjadi, kini saatnya kami mulai membuat menu  sarapan pagi, mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan lagi. Indomie dicampur dalam adukan telur, lalu kemudian digoreng, (aku menyebutnya pizza mie) dan sekaleng sarden, menjadi menu yang akan kami santap setelah matang nanti. 

menu telah berhasil dibuat dengan kematangan yang sempurna, kini saatnya menu-menu tersebut kami kirim ke perut melalui mulut dan melewati tenggorokan. 1 kata yang keluar sesaat setelah memasukkan menu tersebut kedalam mulut, MAKYUSS!!. Perut telah berganti status dari lapar menjadi kenyang (Alhamdulillah), dan kini saatnya kami mulai membereskan barang-barang yang berserakan didalam tenda.

Matahari perlahan mulai meninggi, barang-barang telah berhasil dikemas kembali. Jam 10 pagi menjelang siang, dengan sangat terpaksa kami harus meninggalkan tempat ini. Hmm..enggan rasanya meninggalkan tempat ini, ingin rasanya kami berleha-leha disini, namun keinginan itu harus kami buang jauh-jauh, karena jalur-jalur itu telah menunggu untuk ditapaki. 

Kini saatnya perjalanan dimulai kembali, kami kembali menuju persimpangan yang kemarin kami lewati, sesampainya di persimpangan kami mengambil jalur ke kanan. Perjalanan kami lanjutkan ke pos selanjutnya, yaitu Cisentor. Diperjalanan inilah kami mulai merasa was-was dan harus lebih berhati-hati dalam memilih jalan. 

Karena menurut info yang diberikan oleh teman-teman, jalur menuju Cisentor banyak sekali cabangan, yang jika kita salah jalan, maka akan nyasar. Kami terus melewati jalur yang sudah ada, saat dipercabangan, kami selalu memeriksa jalur. Kami memeriksa, dan melihat-lihat apakah terdapat tanda (stringline), jika melihat tanda berarti itulah jalur yang harus kami lewati. 

Sesekali kami juga memeriksa kondisi jalur, apakah terdapat jejak-jejak, jika iya berarti jalur yang kami lewati benar. Sejauh ini kami berkeyakinan bahwa jalur yang kami lewati benar, itu semua karena jejak-jejak dan tanda stringline yang selalu kami temui. Selepas meninggalkan Taman Hidup, kami memasuki hutan lumut. Jalur lebih bersahabat dari kemarin. 

Jalur yang kami lewati berfariasi, mendatar, menurun dan sedikit menanjak. Pohon-pohon yang terdapat disini, semuanya nyaris ditutupi lumut, mungkin karena itulah tempat ini dinamakan Hutan Lumut. Tempat yang lembab, pepohonan yang rapat, nyaris tidak ada sinar matahari yang masuk dan terasa sangat sejuk, membuat kami terhanyut. 

Namun kami tidak boleh terlena oleh suasana, karena kami juga harus berhati-hati jika tidak ingin salah jalan. Terus melintasi hutan lumut, kami menemukan seperti aliran sungai yang telah mati, dan kami menyebranginya. Selepas menyebrangi, jalur kemudian menanjak seperti menaiki bukit. 

Kami terus melewati jalur tersebut, mulai dari jalur ini sepertinya sudah tidak ada percabangan. Jalur terus menanjak, dengan jurang disebelah kanan. Terus berjalan kamipun kemudian sampai dijalur yang terdapat ilalang-ilalang tinggi yang sesekali menutupi jalur yang kami lewati, dan disebelah kiri terdapat jurang, pepohonan disini sudah tidak begitu rapat. 

Sangat berbeda sekali dengan kondisi di Hutan Lumut tadi, jalurpun mulai didominasi oleh debu. Disepanjang jalur ini, kami sering sekali menemui batu-batuan besar, ada yang menempel di dinding bukit, ada juga yang berada disamping jalur. Jalur yang kami lewatipun berfariasi, mendatar, turunan kecil dan menanjak sedikit dan terjal. 

Kami sering berhenti saat melintasi jalur ini, karena jalurnya tidak bersahabat dengan kami. Jalan terus menanjak, menaiki bukit seperti tak ada ujungnya. Ahhh…karena semangat yang pantang menyerah, dan terus berusaha melewatinya, akhirnya kami sampai juga di puncak bukit. 

Di tempat ini banyak sekali tempat datar, dan ada beberapa pohon-pohon besar. Tempat inipun bisa menampung sekitar 7-8 tenda, dan kamipun beristirahat di tempat ini. Kami beristirahat dan menghilangkan lelah disini, udara yang sejuk sangat memanjakan kami, walaupun saat itu siang hari. 

Lelah sudah hilang, kini saatnya kami melanjutkan perjalanan. Ahh…kukira jalur yang kami lewati sudah tidak ada lagi tanjakan, namun masih saja kami menemukan tanjakan-tanjakan, namun sudah tidak seterjal sebelumnya. Jalur masih didominasi oleh pohonan dan ilalang-ilang yang sesekali menutupi jalur, dan jurang berada disebelah kanan. 

Kami baru tersadar, rupanya perjalanan kami ialah menaiki bukit, memutari dan menuruni, ini terasa karena kami menemui jalan datar, turunan dan tanjakan. Ahhh…namun semua itu tak kami hiraukan, kami tetap terus berjalan, agar bisa sampai ditempat selanjutnya. 

Kami terus berjalan, tak terasa kami sampai di sebuah tempat, yang di depannya seperti sungai mati, dan aku melihat sebuah pohon yang terdapat sebuah plang kecil yang terdapat tulisan X putih. Ahhh…mungkin ini yang dinamai kali putih, namun aku tidak tau benar atau tidak. Aku tak memikirkannya dan lalu menyebranginya, dan kemudian menaiki sebuah bukit dengan cara harus memanjat pohon. 

Setelah berhasil memanjat sebuah pohon, aku menunggu Ikhwan dan Omi dari pohon ini, karena mereka masih berada beberapa puluh meter di belakangku. Selagi menunggu Ikhwan dan Omi, aku bertemu dengan 2 orang pendaki yang hendak turun. Aahhh…akhirnya aku bertemu dengan pendaki lain, maklum saja sedari kemarin tidak sekalipun kami bertemu dengan pendaki saat melintasi jalan. 

Aku kemudian berbincang dengan mereka, sembari menanyakan jalur yang akan kami lewati nanti. Dari obrolan-obrolan, merekapun bercerita kepadaku, bahwa semalam ada 1 rombongan pendaki yang nyasar saat hendak turun dari puncak, rombongan tersebut berasal dari Jakarta. Mereka berhasil ditemukan oleh 2 orang yang sedang berbincang denganku ini (syukurlah). 

Setelah berbincang, 2 orang itupun kemudian melanjutkan perjalanannya, saat mereka hendak turun akhirnya Ikhwan dan Omi sampai juga ditempat ini, dan kamipun beristirahat sejenak disini. Setelah istirahat sejenak, kami kemudian melanjutkan perjalanan. Jalur tidak banyak berubah dari sebelumnya, setelah menaiki bukit lalu kami menuruninya, dan melewati jalan datar, dengan jurang disebelah kanan kami. 

Tampak disebelah sana ada sebuah bukit, nampaknya bukit itu yang nanti akan kami lewati. Saat melewati jalur ini, kami kemudian bertemu lagi dengan beberapa orang pendaki, kami bertegur sapa lalu berbincang sebentar, kemudian melanjutkan lagi perjalanan. Selepas bertemu dengan mereka, kami kemudian dihadapkan oleh tanjakan yang lumayan terjal. 

Kami terus melangkahkan kaki di jalur tersebut, seperti biasa Ikhwan dan Omi berada dibelakangku. Setelah melewati tanjakan, aku yang berada didepan kemudian mendapati jalur yang agak sedikit menurun dan kemudian mendatar. Aku sempat berhenti sejenak, karena terpana melihat tumbuhan-tumbuhan yang banyak diperbincangkan jika mendaki Gunung Argopuro, yaitu Pohon Jelatang. 
 
Pohon dengan ketinggian sekitar 2,5 meteran ini memiliki duri-duri tajam di batang dan daunnya. Jika terkena batang maupun daunnya, akan terasa sangat sakit seperti disengat, kalau terkena ya..pasrah saja. Dari cerita yang aku dapat jika terkena pohon ini dan ingin meghilangkan rasa sakitnya, bisa dihilangkan dengan lender kodok, namun disiram paki air juga bisa, tapi sakitnya masih terus berasa hingga setengah hari, bahkan bisa sehari. 

Kebetulan aku pernah merasakan sengatan dari pohon ini, ketika di Segara Anak. Aku tak menyadiri kalau itu pohon Jelatang (maklum lagi kebelet :D), setelah terkena sengatan kontan aku langsung melihat daun-daunnya. Ahhh…rupanya pohon Jelatang, aku terus menyirami pakai air bahkan aku rendam di air danau, namun rasa sakit itu masih amat terasa, dan terus terasa. 

Yaa…akhirnya kunikmati saja rasa sakit itu, hingga sakitnya sudah tak lagi terasa setelah pertengahan hari. Mau tau gimana rasanya? Silahkan coba :P. kembali kecerita pendakian Argopuro. Tak lama setelah aku terpana, Ikhwan dan Omi datang, lalu aku bilang kepada mereka, bahwa ada pohon Jelatang di depan kita. 

Pohon Jelatang bukanlah menjadi penghalang jalan kami, dan kami terus berjalan, namun agak sedikit hati-hati jika tak ingin terkena sengatannya. Jangan dibayangkan pohon tersebut berada di Jalur, Pohon tersebut berada dipinggir jalur sehingga tak begitu menggangu, namun tetap saja harus berhati-hati. 

Setelah melewati jalur yang banyak pohon Jelatang, kami kemudian melewati tanjakan. Aku berjalan paling depan, dan kemudian sampai di tempat datar. Aahhh…rupanya ditempat ini aku bertemu kembali dengan rombongan pendaki yang akan turun, mereka sedang beristirahat, dan akupun beristirahat disini sembari menunggu Ikhwan dan Omi yang masih tertinggal dibelakang. 

ternyata kebanyakan mereka berasal dari Jakarta, jadi tak ada kendala dalam bahasa. Aku berbincang-bincang dengan mereka, dari perbincangan tersebut akupun mulai mengetahui, tentang yang diceritakan oleh 2 orang pendaki yang bertemu denganku tadi. Rupanya rombongan mereka inilah yang diceritakan tadi, dan akupun minta diceritakan kronologis kejadiannya. 

Disela perbincangan, Ikhwan dan Omi akhirnya tiba, dan mereka berdua ikut beristirahat disini. Tak lama berselang rombongan itupun melanjutkan perjalanan, namun kami masih beristirahat disini. Setelah beristirahat, kami mulai melanjutkan perjalanan. Kami dihadapkan oleh jalur yang menurun (horeeee..), di jalur inipun kami sering sekali berpapasan dengan pendaki-pendaki yang hendak turun. 

Ternyata mereka-mereka itu masih serombongan dengan pendaki-pendaki yang baru saja bertemu saat istirahat tadi, kamipun bertegursapa kepada mereka. Kami terus melewati setapak demi setapak jalan ini, jalan seperti tak berujung, namun bermuara pada kebahagian. Setelah beberapa kali naik dan turun bukit, akhirnya kami sampai di sebuah tempat bernama Aeng Kenek. 

Disini terdapat sebuah tempat datar yang bisa menampun sekitar 3-4 tenda, dan disini juga terdapat sungai kecil yang dialiri air, kita bisa mengambil air disini. Kami tau nama tempat ini karena disebuah pohon terpasang plang yang bertuliskan Aeng Kenek, ditempat ini juga terdapat pohon tumbang yang bisa dipakai untuk sekedar bersandar. 

Kami tiba sekitar jam 5 sore dan lalu beristirahat disini, haripun sudah hampir gelap, namun kami tak berencana untuk bermalam disini. Karena menurut info yang diberikan oleh pendaki yang tadi bertemu, Cisentor sudah tidak jauh lagi dari Aeng Kenek, untuk itulah kami tidak bermalam disini (tanggung :D). 

Tadinya kami berencana mengambil air disini, namun karena dirasa masih cukup untuk perjalanan ke Cisentor, akhirnya kami urungkan niat kami tersebut. Aku mulai mengambil senter dari dalam tas selempangku, kemudian menaruhnya di kepala, kerena gelap disini datang lebih awal dari pada gelap di tempat tinggalku. 

Benar saja, baru saja setengah jam berjalan langit perlahan mulai gelap, dan saatnya sinar senter yang menerangi jalan kami. Jalan yang kami lalui masih tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, namun kali ini kami harus lebih berhati dalam mencari jalan, karena jalan yang gelap dan takut salah mengambil jalan. Kali ini kami berjalan saling berdekatan, berbeda dengan sebelumnya. 

Setelah kira-kira 1 jam berjalan meninggalkan Aeng Kenek, kami tiba di sebuah sabana yang didominasi oleh rumput, dan rumput itupun banyak yang menutupi jalur. Kami berjalan melambat disini, karena takut salah jalur. Aku terus memandang ke bawah sambil menerangi jalannya, dan aku menyuruh Ikhwan untuk memperhatikan sekitar, takut-takut jalur yang kami lalui salah. 

Aku terus memperhatikan jalur dan tanda-tanda yang ada, yaitu jejak-jejak dan taburan-taburan potongan kertas. Selama ini jalur yang kami lalui sepertinya benar, itu terlihat dari tanda-tanda yang sering kujumpai. Setelah melewati sabana, kemudian memasuki jalan setepak dan kemudian memasuki sabana lagi. 

Hal yang tidak berberbeda sering kulakukan saat pertama kali memasuki sabana tadi, aku terus mencari jalur yang benar. Taburan-taburan bintang dan cahaya bulan sekejap menghilangkan ketakutanku, saat kumemandangnya. Selepas melewati sabana kami kemudian memasuki jalan setapak seperti melewati punggungan bukit, ilalang menjadi penghiasnya. 

Kami terus berjalan, lalu kami dapati jalur menurun. Ditengah perjalanan kami mulai mendengar suara-suara manusia, aahh..syukurlah sepertinya kami akan segera tiba disuatu tempat yang ada manusianya. Terus berjalan, dan suara itu makin jelas terdengar, dan akhirnya setelah melewati turunan, kami menemukan tempat datar. 

Benar saja disini banyak kujumpai pendaki, dan kulihat ada sebuah selter. Aku kemudian bertanya kepada pendaki yang kutemui, untuk menayakan dimanakah Cisentor?, dan mereka menjawab “ini Cisentor mas”, dan aku mensenteri shelter tersebut, dan terdapat sebuah tulisan “CISENTOR”. Tepat diatas kami berdiri juga banyak pendaki-pendaki lain yang sedang bermalam. 

Ahhh…kami senang sekali dan merasa lega, karena akhirnya sampai juga. Dan rasa lelah itu sedikit demi sedikit mulai memudar karena mendengar jawaban tadi. kulihat jam yang menempel di tangan kiri Ikhwan, dan sudah menunjukkan jam setengah 8 malam. “Alhamdulillah” itu yang kami ucapkan, karena bisa sampai Cisentor tanpa kendala. 

Kukira pendaki-pendaki tersebut akan hendak turun, karena kulihat mereka menggendong tas. Rupanya mereka juga ingin bermalam disini, karena baru saja turun dari puncak. Tak lama kemudian, kami mulai mencari tempat untuk kami mendirikan tenda, karena tubuh kami mulai diselimuti kedinginan. 

Aku selalu ingat pesan temanku, ia mengingatkanku agar tidak membuka tenda dan bermalam di dalam Shelter, akupun mengikuti pesannya karena mengerti maksudnya. Kami kemudian mendirikan tenda, tubuhku yang kedinginan, terutama pada bagian tangan, membuat ku agak kesulitan memasukkan batang demi batang frame. 

Kami harus berpacu dengan waktu, karena dingin sudah sangat menusuk seluruh tubuh. Tenda telah berhasil dibangun, dan matraspun sudah digelar, tanpa banyak kata kami semua masuk ke dalam tenda guna mendapatkan perlindungan dari hawa dingin itu. Setelah tubuh sudah tak begitu dingin, dan mengigil sudah tak kami rasakan, kini saatnya kami memulai aktifitas selanjutnya, yaitu masak. 

Aku keluar tenda dan mengambil air guna keperluan memasak. Memasakpun dimulai, kami memasak di dalam tenda, karena enggan untuk memasak diluar. Merebus air menjadi aktifitas pertama kami, untuk membuat teh dan minuman penghangat, agar bisa mengusir rasa dingin ini. 

Setelah itu Ikhwan memilih untuk tidur karena katanya ia sangat lelah dan mengantuk. Aku menyarankannya untuk makan terlebih dahulu, namun ia menolaknya. Akhirnya aku dan Omi merebus mie instant dicampur dengan sayuran, telur dan irisan cabe rawit merah sebagai menu makan malam kami. Mie telah matang, kami langsung menyantapnya. 

Entah kenapa mie rebus tersebut terasa sangat begitu nikmat, entah karena kami yang memang kelaparan atau karena apa, yang pasti mie tersebut terasa begitu amat sangat nikmat. Perut sudah kenyang terisi oleh mie, kini saatnya kami menyusul Ikhwan yang telah terlelap terlebih dahulu. 

Namun aku masih enggan untuk tertidur, aku masih ingin menikmati suasana mala mini. Sebatang rokok kunyalakan sambil menatap keluar dan sesekali menatap keatas langit dari pintu tenda. Dan aku masih mengenang perjalanan seharian tadi, perjalanan yang diluar dugaan karena tanpa kendala, semua itu karena perlindungan dari yang Maha Kuasa (thanks GOD!!). 

Sebatang rokok telah habis kuhisap, dan aku sudah puas menikmati malam pertama di Cisentor, kini saatnya kumasukan seluruh badanku ke dalam selimut tidur yang bernama Sleeping Bag. Tak perlu menunggu lama, dan akupun terlelap oleh heningnya suasana Cisentor, perlahan demi perlahan aku mulai mendapatkan bunga-bunga tidurku malam ini. 

bersambung

No comments:

Post a Comment