Tuesday 4 October 2011

Menuju Gunung Argopuro [2]

Sabtu, 3 september 2011
Pagi hari kami terbangun, kami sempatkan untuk menghirup udara segar dari depan Polsek. Di Bremi ini, terkenal dengan Susu sapinya. Tampak dari depan Polsek terlihat tempat pemerahannya. Harganyapun relative murah, Rp 4500 perliternya. Pasti nikmat rasanya meminum susu yang masih segar itu.
 
Sebelum melakukan pendakian, kami sempatkan sarapan di tempat semalam kami membeli nasi. Namun kali ini kami menikmati sarapan ditempat tersebut. Menu tumisan dan sambal menjadi santapan yang akan memasuki ke dalam lambung kami, dan tak lupa ditutup dengan segelas teh manis hangat.

Selesai sarapan, kami kembali ke Polsek dan membereskan barang-barang bawaan kami, karena sebentar lagi pendakian akan kami mulai. Barang-barang telah dibereskan, lalu kami letakkan diarea depan. Sebelum melakukan pendakian, kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama pak Chamsul dan keluarganya. 
 
Jam 9 pagi, selepas berfoto kamipun berpamitan, dan akhirnya pendakian ini benar-benar dimulai. Kami mendaki melalui jalur biasa, karena menurut temanku Hero, pendakian bisa dilakukan melalui gunung Gendeng yang berada disebelah kanan. Jika ingin lewat jalur tersebut, maka dari Polsek kita ke arah atas.

Karena kami memilih jalur normal, maka kami berjalan ke arah bawah. Dan kira-kira 100-150an meter dari Polsek kami berbelok ke kanan. Dipertigaan ini terdapat sebuah gapura, yang bertuliskan NOL KM. dari belokan tersebut kami berjalan melewati jalan yang lumayan luas yang berselimut aspal.
 
Dari jalan ini pemandangan pegunungan Hyang sangat terlihat begitu indah, dan amat memanjakan mata. Aahhh…pegunungan itulah yang akan kami daki hari ini. Di ujung perkampungan terdapat sebuah pertigaan, kami berbelok ke kanan, disekitar banyak terdapat bangunan-bangunan dan terdapat sebuah musollah.

Kami berhenti sejenak disini. Aku mencoba menelfon Hero, kami bingung jalur mana yang harus kami lewati, karena tepat ditempat kami berdiri, terdapat juga jalur yang ke kanan. Setelah menelfon dan diberitahu kamipun mengambil jalan yang lurus setelah belok ke kanan tadi. Kami terus berjalan melewati jalan setapak yang relative landai.

Disepanjang jalan aku terus membaca catatan kecilku, hasil pemberitahuan dari Devim yang aku tulis di secarik kertas karcis bus. Dari panduan tersebutlah kami terus berjalan. Dan kami memasuki Hutan dammar yang jalurnya agak berdebu dan menanjak. Dari hutan dammar juga banyak sekali percabangan jalur, tapi aku mengambil jalur dari panduan catatan kecilku tadi. 

Selepas melewati hutan dammar terdapat juga pecahan jalur, yang satu kekiri dan yang satu lagi lurus, dan terdapat terdapat sebuah bangunan ditengahnya. Aku berhenti disini, dan menelfon hero untuk meminta bantuan, dan sembari menunggu Ikhwan dan Omi yang masih berada dibelakang. 

Dari perkataan Hero, jalur tersebut sama saja. Jalur yang kekiri ialah jalur lama dan landai tapi memutari punggungan bukit, dan yang lurus jalur baru, namun menanjak terjal. Setelah mendapat informasi tersebut, akhirnya aku ambil jalur yang lurus dan memutuskan untuk menunggu 2 orang temanku di bangunan itu.

Di bangunan tersebut rupanya ada 3 orang (mungkin penduduk), dan aku numpang istirahat disini, dan berbincang dengan 3 orang tersebut dan iseng-iseng menanyakan jalur, sembari menunggu 2 orang temanku yang masih berada dibelakang. Beberapa menit kemudian Ikhwan dan Omipun datang, kami berkumpul dan beristirahat disini. 

Tak lama kemudian, kami berpamitan kepada ketiga orang tersebut dan melanjutkan pendakian. Jalur pendakian semakin menanjak terjal, kami melewati hutan pohon karet. Ahhh…sungguh segar menghirup udaranya. Sesekali kami melewati jalan landai dan sedikit menurun, duuuhhh…sungguh senangnya perasaan ini. 

Selepas melewati hutan pohon karet, kami mulai memasuki jalan setapak hutan, saat diperjalanan, kami bertemu dengan seorang bapak-bapak yang kelihatannya sedang mencari-cari sesuatu. Kamipun menyapanya dan berkata ada apa, lalu bapak itu memberitahu, ia sedang mengejar 3 orang pencuri kayu (menurut pengakuan beliau). 

Yang 2 orang lari kearah gunung Gendeng, yang berada di sebelah kanan jalur, dan yang satu lari ke arah jurang, tepat dimana kami berdiri ini. Bapak tersebut menunggu yang lari kearah Jurang, karena si bapak berkeyakinan bahwea orang tersebut akan kembali lewat sini, karena tidak mungkin ia melewati jurang.

Sembari nunggu kamipun berbincang-bincang dengan si bapak, perbincangan yang sangat menarik, karena ia menceritakan sedikit tentang gunung Gendeng dan Taman Hidup. Ia bercerita, bahwa di gunung Gendeng terdapat seekor Kuda Terbang (bukan merk cat ya :p). setelah mendengarkan cerita-cerita yang diceritakan si bapak, kamipun berpamitan dan kemudian melanjutkan pendakian. 

Jalur yang kami lewati benar-benar menanjak terjal dan tidak lagi terdapat jalan datar dan turunan. Tenaga kami terkuras habis saat melewati jalur ini, tidak jarang kami terus berhenti untuk mengatur nafas yang ngos-ngosan. Keringat telah membasahi seluruh badan, namun untung saja pohon-pohon ini membuat udara yang kami hirup sangat segar, dan angin yang bertiup sangatlah sejuk. 

Ditengah perjalanan kami menemukan sebuah pohon besar tumbang dan kering yang sedang mengeluarkan asap. Sepertinya pohon tersebut terbakar, tapi tidak mengeluarkan api, hanya bara-bara yang terdapat dibawah dan pinggiran pohonnya. Kami berusaha memadamkan bara tersebut dengan menggunakan debu yang berada dijalur, sedikit berhasil namun tidak sempurna. 

Setelah itu kami mulai melanjutkan perjalanan lagi, jalur-jalur yang menanjak ini harus kami lewati. Untung saja jalur tidak berdebu walaupun banyak terdapat debu, sehingga tidak terlalu membuat tenggorokan menjadi kering karena kemasukan debu. Kami terus berjalan melewati tanjakan-tanjakan terjal. 

Ikhwan dan Omi berada dibelakangku, entah sudah berapa kali kami berhenti, karena kami dibuat amat sangat kelelahan melewati tanjakan-tanjakan tersebut. Melewati tanjakan-tanjakan tersebut mengingatkanku akan sebuah lagu yang kujadikan soundtrack saat melewati bukit penyiksaan, dan lagu tersebut akan kujadikan soundtrack lagi disini. 

Setelah melewati jalur sambil tertatih-tatih, akhirnya aku yang berada di depan sampai juga di puncak bukit ini. Ahhh…akhirnya aku menemukan tempat datar jua, aku beristirahat disini, sembari menunggu Ikhwan yang masih tertinggal dibelakangku. Rasa senang menghilang lelah seketika setelah sampai ditempat ini.
 
Di tempat ini terdapat sebuah pohon besar, dan juga terpampang plang yang bertuliskan DATARAN TINGGI HYANG, dan juga terdapat sebuah patok seperti trianggulasi. Ahhh…sembari menunggu kedua orang rekanku, aku istirahat disini san menghisap sebatang rokok, sambil melihat-lihat sekeliling. 

Kira-kira 10 menit aku menunggu, akhirnya mereka tiba ditempat aku berada, aku langsung berteriak kepada mereka berdua. Setelah mendengar teriakkanku seketika wajah mereka yang tadinya kelelahan nerubah menjadi ceria. Dan akhirnya kami bertiga berkumpul dan beristirahat disini. 

Jam menunjukkan sekitar jam setengah 4 sore. Senang rasanya telah sampai di tempat ini, karena menurut informasi dari buku dan catatan yang kubawa, dari tempat ini Taman Hidup sudah tidak jauh lagi. Dan menurut buku dari tempat ini untuk mencapai Taman Hidup harus berbelok ke kanan. [Namun ternyata kami salah, harusnya kami lurus dulu baru nanti belok ke kanan]
 
Disela-sela kami beristirahat, Omi memutuskan untuk jalan terlebih dahulu. Merasa sudah mengetahui jalurnya iapun berangkat meninggalkan kami. Tinggal aku dan Ikhwan yang masih beritirahat. Setelah tenaga dan stamina pulih, akhirnya aku dan Ikhwan mulau bergegas, dan menyusul Omi. 

Jalan yang kami lewati awalnya landai, sehingga kami tidak curiga kalau kami salah jalur. Namun selepas jalan datar terdapat sebuah turunan, kami menuruni jalur tersebut. Dan aku mulai curiga kalau kami salah jalur, karena sudah hampir 10 menit kami tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Taman Hidup. Dan akupun mengatakan Hal tersebut kepada Ikhwan. 

Namun awalnya Ikhwan masih yakin kalau ini benar jalurnya. Obrolan singkat terjadi antara aku dan Ikhwan. Ikhwan telah mengetahui kalau kami telah salah jalan, namun karena Omi yang jalan terlebih dahulu, dan belum dapat kami susul, akhirnya Ikhwan tetap menuruni Jalur tersebut, untuk menemukan Omi. Dan aku memutuskan untuk kembali ke atas, ke tempat jalan datar terakhir sebelum turunan. 

Aku telah sampai diujung jalan datar sebelum turunan, sembari menunggu Ikhwan dan Omi aku mencari-cari jalur di area ini, namun hasilnya nihil, tak ada jalur selaian jalur yang aku lewati tadi. Hampir 5 menit aku menunggu di tempat ini, namun belum ada tanda-tanda Ikhwan dan Omi kembali kesini. 

Akhirnya aku memutuskan untuk turun lagi dan menyusul mereka, turunan terjal dan agak sedikit berdebu terus kulewati tanpa henti, sesekali aku berlari. Hampir 100an melewati jalan yang menurun ini, namun mereka berdua belum dapat kutemui, sepertinya mereka telah jauh turun kebawah. Dan akhirnya di batang pohon yang melintang tersebut aku menemukan mereka. 

Setelah bertemu mereka, kamipun membuka obrolan kecil, dan kami memutuskan untuk kembali ketempat dimana kami bertiga beristirahat tadi. Seperti biasa, aku berjalan paling depan, dan tak berhenti. Aku tiba terlebih dahulu ditempat dimana kami beristirahat, dan akupun menunggu mereka berdua yang masih tertinggal. Setelah mereka tiba, kami mulai melanjutkan perjalanan. 

Kami memasuki jalur yang lurus, dengan jalan setapak datar dalam rimbunnya pepohonan. Sedikit-demi sedikit suara dari riuhnya manusia bisa kami dengar, kami sangat senang karena jalur yang kami lewati tidak salah. Beberapa menit kemudian, kami menemukan persimpang. Aaahhh… rupanya persimpangan inilah yang dimaskud. Kami kemudian megambil jalur yang kekanan. 

Riuh suara-suara makin terdengar jelas, sepertinya suara itu berasal dari Taman Hidup. Dan benar saja, sebelum memasuki taman hidup, sudah ada beberapa orang disini. Mengetahui keberadaan tersebut, kami mempercepat langkah kami agar kami bisa melihat Taman Hidup dengan mata kepala kami sendiri.
 
Hamparan dataran yang dikelilingi oleh pepohonan dan sebuah danau telah berada didepan mata kami, 2 buah bukit menjadi penghias pemandangan. Aahhh…ini lah rupanya Taman Hidup, sebuah tempat yang biasanya sering kulihat melalui foto dan dari cerita-cerita teman-teman, kini ia ada di depan mataku, kini ia berada dihadapanku. 

Kami tidak berencana membangun tenda diatas datarannya, karena menurut info dari yang telah berada disini, pagi hari datarannya berES. Wajar saja, saat ini memang sedang musim panas, jadi suhu menjadi lebih dingin. Lagi pula lokasinya yang berada dilembahan dengan areal terbuka, salah satu menjadi alasan kami. 

Menjelang jam 5 kami akhirnya sudah sampai di Taman Hidup, menghabiskan waktu 8 jam (termasuk sempat salah jalan, istirahat) perjalanan dari Bremi. Sejenak kami menikmati pemandangan indah yang disajikan oleh Taman Hidup. Tampak di Dermaga banyak yang sedang memancing, namun ada juga yang sudah selesai mancing. 

Melihat hasil yang didapat oleh pemancing, membuat kami agak menyesal tidak membawa alat pancing. Ikannya terlihat begitu besar, sangat mengundang untuk segera memancing. Kami terus saja menikmati apa yang disajikan disini, tanpa henti kami terus berdecak kagum, sungguh pengalaman yang tidak bisa dilupakan.

Menurut cerita, jika berada di Taman Hidup, kita tidak boleh berteriak. Jika kita berteriak, maka seketika langit akan menjadi gelap dan menimbulkan badai. Entahlah, mau percaya atau tidak, bukan urusan saya :p.
Setelah puas menikmati keindahan Taman Hidup, aku menuju camp area, yang berada persis sebelum jalan masuk menuju Taman Hidup. Tempat sudah dipilih dan kamipun segera mendirikan tenda, karena hari sudah hampir gelap. Tenda sudah berdiri, kini saatnya kami beristirahat, setelah melakukan perjalanan seharian.

Hari mulai gelap, taburan bintang-bintang perlahan mulai bermunculan menghiasi ruang-ruang kosong langit malam. Diikuti oleh sang bulan, yang memberikan seluruh sinarnya untuk menerangi malam. Sebelum tidur kami melakukan masak-memasak untuk membuat menu makan malam. 

Ahhh…malam ini sangat bersirik sekali. Bukan berisik oleh suara riuh orang, tapi berisik oleh menggelegarnya suara petasan, yang dibawa oleh pemancing-pemancing tadi. Pemancing tersebut ialah warga Bremi, mereka memang sering ke Taman Hidup untuk memancing ikan. 

Suara bising tersebut terpaksa harus masuk kedalam telinga-telinga kami, dan amat terpaksa harus kami nikmati, Grrrrrr. Ahh…akhirnya suasana kembali sunyi, mungkin karena petasan yang mereka bawa telah habis. Kini saatnya kami menikmati suasana malam yang damai di Pegunungan. 

Gak terasa menu yang kami buat telah matang, saatnya kami mengisi perut-perut kami yang membutuhkan suplay makanan dari mulut dan tenggorokan. Menu istimewa, karena terdapat sayuran brokoli dan col, menjadi hidangan yang siap kami santap dibawah damainya suasana malam Taman Hidup. 

Selesai makan malam, tak banyak lagi aktifitas yang kami lalukan. Dan kamipun memutuskan untuk menghabiskan malam dengan cara tidur nyenyak. Tak berselang lama setelah badan direbahkan, kamipun dininabobokan oleh lembutnya malam. Kehangatan tenda melindungi diri kami dari dinginnya Taman Hidup.


bersambung

No comments:

Post a Comment